Keunikan Tradisi Walima, Peringatan Maulid Nabi di Gorontalo

by -7 Views

Tradisi Walima di Gorontalo: Jejak Islam Abad ke-17 yang Masih Hidup di Desa Bongo

News Gorontalo — Mentari belum beranjak tinggi ketika suasana di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo, mulai ramai oleh aktivitas warga pada Minggu (16/10/2022). Sejak pagi, masyarakat tampak sibuk menyiapkan berbagai hidangan dan perlengkapan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sebuah tradisi keagamaan yang di Gorontalo dikenal dengan sebutan walima.

Tradisi walima merupakan warisan budaya Islam yang telah berakar kuat di tanah Hulondalo sejak abad ke-17, masa ketika ajaran Islam mulai menyebar di wilayah Gorontalo. Walima tidak hanya menjadi bentuk perayaan religius, tetapi juga wujud syukur, gotong royong, dan kebersamaan masyarakat dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Perayaan ini biasanya diawali dengan kegiatan dikili, yaitu zikir dan pembacaan doa di masjid utama desa. Di Desa Bongo, kegiatan ini dipusatkan di Masjid At-Taqwa, yang menjadi jantung spiritual masyarakat setempat.

Baca Juga : 42 Pesantren Resmi Berizin di Provinsi Provinsi Gorontalo, Terbanyak di Bone Bolango

“Dikili kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti zikir. Dalam dikili, para pezikir melantunkan pujian dan doa sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas kelahiran Rasulullah SAW,” jelas Yamin Nusi, Kepala Seksi Pemerintahan Kecamatan Batudaa Pantai, saat diwawancarai di sela acara.

“Biasanya dimulai setelah salat Isya, kemudian dijeda menjelang Subuh. Setelah itu dilanjutkan kembali dengan doa puncak pada pagi hari hingga sekitar pukul 9 atau 10,” tambahnya.

Dikili dilakukan dengan khidmat sepanjang malam hingga pagi hari. Lantunan zikir berpadu dengan suara rebana, menciptakan suasana religius yang menyentuh hati. Selain memuji kebesaran Allah dan Rasul, teks dikili juga berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW, perjalanan kenabiannya, hingga wafat beliau — disampaikan dengan penuh penghayatan oleh para pezikir yang telah mewarisi tradisi ini secara turun-temurun.

Yang menarik, naskah asli dikili ditulis menggunakan huruf Arab Pegon, yakni aksara Arab tanpa harakat (tanda baca), tetapi menggunakan bahasa Gorontalo. Hal ini mencerminkan perpaduan antara tradisi keislaman dan identitas lokal yang khas. Bahasa Gorontalo digunakan agar pesan religius dapat lebih mudah dipahami masyarakat, sementara penggunaan aksara Arab menunjukkan penghormatan terhadap sumber ajaran Islam.

Setelah dikili dan doa penutup selesai, masyarakat kemudian melaksanakan walima, yaitu prosesi membawa dulang atau nampan berisi aneka makanan, kue tradisional, dan buah-buahan untuk dibagikan kepada tamu serta tetangga. Walima menjadi simbol kebersamaan, rasa syukur, dan silaturahmi antarwarga.

Bagi masyarakat Desa Bongo dan sekitarnya, walima bukan sekadar ritual tahunan, melainkan manifestasi dari nilai-nilai keagamaan, budaya, dan sosial yang mempererat hubungan antarwarga. Di tengah perkembangan zaman, tradisi ini tetap dijaga agar generasi muda memahami akar sejarah dan makna spiritual yang terkandung di dalamnya.


Catatan budaya:
Tradisi walima di Gorontalo kini menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat pesisir selatan provinsi ini. Pemerintah daerah, bersama tokoh agama dan adat, terus berupaya melestarikan tradisi ini melalui kegiatan keagamaan, festival budaya, serta dokumentasi digital agar dapat dikenal lebih luas, baik di tingkat nasional maupun internasional.

telkomsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.